7 Aspek Penting untuk Keberlanjutan Industri Nikel di Indonesia
Selasa, 2024-07-23
Isu hilirisasi nikel di Indonesia semakin hangat dengan ambisi Presiden Joko Widodo menjadikan negara ini pusat produksi baterai kendaraan listrik (EV). Namun, keberlanjutan industri nikel menghadapi tantangan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang kompleks. Berikut adalah tujuh aspek penting yang perlu diperhatikan untuk memastikan keberlanjutan industri nikel dari hulu ke hilir:
Narasi bahwa Indonesia akan menjadi raksasa kendaraan listrik dunia perlu diluruskan. Saat ini, 70% nikel Indonesia digunakan untuk baja antikarat, bukan baterai EV. Putra Adhiguna menyatakan bahwa Indonesia hanya menguasai 0,4% dari pasar baterai listrik dunia. Fokus pada hilirisasi nikel perlu lebih luas, tidak hanya pada baterai EV, tetapi juga produk turunan lainnya.
Hanif dari UNSW Sydney menekankan pentingnya insentif pemerintah untuk pengurangan emisi dan pengolahan limbah. Industri nikel memerlukan investasi pada peralatan rendah emisi dan penggunaan energi terbarukan untuk mengurangi dampak lingkungan. Selain itu, perusahaan perlu mengelola dan mendaur ulang limbah mereka.
Konsumen nikel dapat berperan dalam menuntut proses penambangan dan pengolahan yang berkelanjutan. Misalnya, mengikuti kebijakan Uni Eropa yang mengharuskan penggunaan bioenergi dari komoditas bebas deforestasi. Tekanan dari konsumen EV dan stainless steel dapat mendorong perusahaan untuk beroperasi lebih ramah lingkungan.
Putra Adhiguna menganggap pembatasan ekspansi industri nikel dapat membantu menjaga cadangan dan memperbaiki harga nikel yang jatuh. Pembatasan smelter dapat memperbaiki harga bijih nikel dan mengurangi deforestasi yang terjadi akibat penambahan smelter baru.
Data cadangan nikel yang akurat sangat penting. Krisna Gupta dari CIPS menekankan pentingnya eksplorasi yang mempertimbangkan dampak lingkungan untuk menciptakan desain tambang yang minim deforestasi dan risiko lingkungan lainnya.
Evaluasi insentif pajak dan kebijakan larangan ekspor bijih nikel diperlukan untuk memastikan keberlanjutan ekonomi. Kerja sama rantai pasok nikel antarnegara bisa menjadi alternatif yang lebih menguntungkan daripada larangan ekspor. Menurut Krisna, kerja sama dengan negara-negara OECD dapat membantu memperkuat investasi hilirisasi nikel di Indonesia.
Hanif menyatakan sudah waktunya istilah "sustainable mining practices" (SMP) diterapkan secara nyata. Pengawasan dari Kementerian ESDM perlu diperketat. Indonesia bisa meniru negara lain seperti Kanada yang berhasil menerapkan praktik tambang berkelanjutan dengan elektrifikasi peralatan tambang menggunakan energi terbarukan.
Dengan memperhatikan ketujuh aspek ini, Indonesia dapat memastikan keberlanjutan industri nikel dari hulu ke hilir, memberikan manfaat ekonomi sekaligus melindungi lingkungan.
Berita Lainnya
Staf Khusus Presiden Sebut Negara-negara di Global North Berkontribusi 92% Emisi Global
Nikel, Emas, dan Tembaga, Tiga Komoditas Mineral Andalan Indonesia di Pasar Global
Penggunaan Limbah Slag Nikel Sebagai Material Konstruksi Jalan Ramah Lingkungan
Pengaruh Suhu dan Konsentrasi Terhadap Pemisahan Nikel dari Logam Pengotor Menggunakan Metode Leaching
Penelitian Baterai Nikel dan Hubungan Bilateral Indonesia-Korea di Bidang Industri, Perdagangan, dan Transisi Energi
Mengamankan Masa Depan Industri Nikel, Pentingnya Moratorium Pembangunan Smelter di Indonesia
Nikel Pilar Utama Dalam Industri Baterai Kendaraan Listrik dan Masa Depan Energi Bersih
Efektivitas Carsul dalam Menurunkan Konsentrasi Chrome Hexavalent pada Limbah Tambang Nikel
Efektivitas Carsul dalam Menurunkan Konsentrasi Chrome Hexavalent pada Limbah Tambang Nikel